Ruang Dakwah
Sang Pemalas
Jabaruddin

Jabaruddin

Jul 15, 2022

Sang Pemalas

Malam semakin larut, jarum pendek jam dinding menunjuk angka 12. Anak lelaki itu masih asyik memainkan jari-jemarinya di atas papan kyboard handphonenya. Ia baru menyadari waktu telah sampai ke tengah malam ketika dua temannya pamit pulang ke rumah masing-masing.

            Sejak petang perhatian anak lelaki itu telah tersedot oleh pertarungan di layar handphone. Bertiga dengan temannya, anak lelaki itu tenggelam dalam permainan mobile legends. Bagi anak lelaki ini, juga teman-teman sebayanya yang tinggal di sebuah dusun yang agak terpencil itu, game elektronik dan televisi adalah hiburan yang paling bisa mereka nikmati. Bila tidak, anak lelaki ini kerap menghabiskan malam dengan nongkrong bareng. Setelah teman-temannya pulang dia pun langsung menuju ke kamar, akan tetapi bukan untuk tidur melainkan melanjutkan game yang ia mainkan bersama teman-temannya tadi karena merasa belum puas memainkannya. Tak terasa sudah dini hari, pukul 02.00 pagi. Menyadari hal tersebut, ia segera meletakkan handphone-nya dan bergegas tidur.

            Saat ia sedang tertidur lelap tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang sedang memanggilnya berulang-ulang, “Rendy, Ren, Rendy cepat bangun! Waktunya shalat shubuh…!” Ternyata suara tersebut tak lain suara ayahnya yang tengah berusaha membangunkannya. Karena ia masih sangat mengantuk akibat tidur terlalu larut, ia tidak menghiraukan suara ayahnya. Bahkan ia berpikir itu hanya perasaannya saja akibat mengantuk berat. Akhirnya sang ayah menyerah untuk membangunkannya.

            Dengan perasaan kesal dan marah, sang ayah pun segera meninggalkan anaknya yang sedang tertidur pulas dan sama sekali tidak menghiraukan panggilannya untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid. Sepulang sang ayah dari masjid, perasaan kesal dan marahnya semakin bertambah melihat anaknya  tak kunjung bangun juga.   

            Sang ayah berfikir hal ini terjadi karena anaknya terlalu sering bermain game bersama teman-temannya hingga lupa waktu. Kemarahan sang ayah sudah mencapai puncaknya, hingga ia hampir meremukkan handphone milik anaknya yang berada di dekat kepala anaknya.

            Namun, hal tersebut tidak terjadi karena sang ibu segera datang dan melarang suamiya menghancurkan telepon anaknya. Semarah-marahnya sang ayah, hatinya akan luluh oleh perkataan sang ibu. Sang ayah pun pergi meninggalkan anaknya yang sedang tertidur dan seakan tidak ada yang terjadi di pagi hari itu. 

            Tak lama kemudian anaknya pun terbangun dari tidurnya yang lelap dan dikejutkan oleh sang mentari yang sudah bersinar terang menyilaukan mata. Sang anak baru teringat bahwasannya ia harus melaksanakan shalat subuh seperti yang biasa ia lakukan bersama kedua orang tuanya di masjid, namun ternyata waktu telah menunjukkan pukul 07.00 WIB. 

            Dia pun bingung dan bertanya-tanya dalam hati “mengapa ayah dan ibu tidak membangunkanku untuk shalat subuh berjamaah seperti biasanya?”. Ia ingin menemukan jawabannya dan bergegas pergi ke dapur untuk mencari kedua orangtuanya, namun ia hanya menemukan ibunya yang sedang mencuci piring. 

            Rendy bertanya kepada ibunya, “Bu, kenapa Rendy tidak dibangunin untuk shalat subuh berjamaah di masjid?”

 Ibu pun menjawab, “Sayang, kamu tadi pagi itu sudah dibangunin sama ayah, tetapi kamu tak kunjung bangun juga, sehingga membuat ayah marah dan hampir menghancurkan handphone kamu.”

Mendengar jawaban sang ibu, anak lelaki itu terdiam dan merenungi peristiwa yang terjadi di pagi hari tersebu. Ia menyesali perbuatannya dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Ia kemudian meminta maaf kepada ibunya atas tingkah lakunya yang telah membuat kedua orang tuanya kecewa dan marah, dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Melihat penyesalan pada anaknya, sang ibu pun memaafkannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang sehingga membuat Rendy merasa sedikit lega. Sekarang ia perlu meminta maaf kepada ayahnya, karena bagaimanapun sang  ayahlah yang paling kecewa akibat kejadian di pagi hari itu. Meski sedikit takut, ia tetap memberanikan diri untuk meminta maaf kepada ayahnya.

“Ayah, Rendy minta maaf karena telah membikin ayah marah dan kecewa sama Rendy. Rendy menyesal, yah. Rendy berjanji mulai saat ini akan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik lagi,” ujar Rendy dengan penuh penyesalan.

Mendengar hal tersebut sang ayah tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan langsung memeluk Rendy dengan penuh kasih sayang yang menandakan ia telah memaafkan kesalahan anaknya tersebut. Sejak saat itulah Rendy mulai membatasi diri dari bermain game yang berlebihan karena hal tersebut bisa merusak kehidupannya.

Jabaruddin

Jabaruddin

Saya adalah mahasiswa STAI DT prodi KPI semester 2,saya mempunyai skill dibidang olahraga yaitu Archery

Leave a Reply

Related Posts

Categories