Radja Fajrul Ghufron
Kita semua telah mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya Robb (Tuhan) semesta alam, yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita. Allah pula yang menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kita mencari nafkah dan yang menurunkan hujan untuk menyuburkan tanaman sebagai rezeki bagi kita.
Setelah kita mengetahui demikian, hendaklah kita hanya beribadah karena Allah semata dan tidak menjadikan baginya tandingan atau sekutu dalam beribadah. Allah ta’ala berfirman pada surat Al-Baqarah: 22, yang artinya:
“(Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengatakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Sahabat Ibnu Abbas radhiyAllahu anhu, yang sangat luas dan mendalam ilmunya, menafsirkan ayat tadi dengan mengatakan: “Yang dimaksud membuat sekutu bagi Allah adalah berbuat syirik. Syirik adalah suatu perbuatan dosa yang lebih sulit untuk dikenali (sangat samar) dibandingkan jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.”
Kemudian Ibnu Abbas radhiyAllahu anhu mencontohkan perbuatan syirik yang samar itu seperti: “Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan” atau “demi hidupku” dan atau “kalau bukan karena orang kecil ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu”, atau ucapan seseorang kepada temannya, misalnya “Atas kehendak Allah dan kehendakmu” atau “Kalau bukan karena Allah dan karena fulan”. Akhirnya Ibnu Abbas radhiyAllahu anhu mengatakan: “Janganlah kamu menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah) dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan syirik.” (Hr. Ibnu Abi Hatim).
Itulah syirik…. Ada sebagian perbuatan yang telah diketahui dengan jelas bahwa perbuatan itu adalah syirik, seperti menyembelih, bernazar, berdoa, atau meminta dihilangkan musibah (istighotsah) kepada selain Allah. Terdapat pula bentuk syirik (seperti yang dikatakan ibnu Abbas dalam hadits tadi) yang sangat sulit dikenali atau sangat samar.
Nah… syirik seperti ini ada 2 macam, yaitu:
1. Syirik dalam niat dan tujuan
Syirik ini termasuk perbuatan yang samar karena niat terdapat dalam hati dan yang mengetahuinya hanya Allah ta’ala.
2. Syirik yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia
Syirik seperti ini adalah seperti syirik dalam ucapan (selain perkara ‘i'tiqad/ keyakinan).
Salah satu bentuk syirik yang sering diucapkan oleh lisan manusia tetapi belum stermasuk dalam perbuatan syirik adalah mencela makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti ucapan: “Bencana ini biasa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro” atau mengatakan ini “ahh sialan!, gara-gara angin ribut ini nih kita jadi gagal panen”.
Sebagian orang begitu mudah mengucapkan perkataan-perkataan seperti tadi, padahal makhluk yang kita cela tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci mereka pada dasarnya telah mencaci dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka, yaitu Allah ta’ala. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah Saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, “Manusia menyakiti Aku, dia mencaci maki masa (waktu) padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah). Rasulullah SAW juga bersabda “Janganlah kamu mencaci maki angin” (HR.Tirmidzi no. 2252. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).
Pendapat penulis Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa atau waktu, angin, hujan, dan makhluk lain yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah terlarang. Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu jelek yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebutlah yang menjadi hal baik dan buruk, dan ini sama saja dengan menyatakan adanya pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai penyebab saja, maka seperti itu termasuk keharaman, tidak sampai derajat syirik.
Apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, seperti mengatakan “Aduh! Hari ini sangat panas sekali, sehingga kita menjadi capek,” nah ucapan seperti ini tanpa tujuan mencela sama sekali, maka seperti ini tidaklah mengapa.
Karena itulah kita harus berhati-hati dalam berbicara. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan, lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu, dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkannya, lalu dia dilemparkan ke dalam Jahanam.” (HR. Bukhari no 6478).
Semoga pembahasan ini menjadikan kita lebih berhati-hati dalam berucap. Hanya Allah yang memberi taufik dan memberi hidayah.
I m a junior developer.